“Ssst…., bila ibu marah, susahlah dunia, karena kalau ayah yang marah kita masih bisa berlari pada ibu. Ibu kerap membela kita bila ayah marah, kecuali kemarahan yang disebabkan kenakalan yang keterlaluan, kenakalan yang terencana, yang membuat ayah dan ibu marah besar karena dianggap memalukan orang tua.

Kali ini ibu marah, dan kalau sudah marah, ibu cemberut serta tidak mau bicara. Aduuh……payaah….susah pula merayu ibu, terpaksa aku mencari tahu cara melunakkan hati ibu; dengan mengikuti apa yang diinginkannya/disukainya.

Ibu suka jika aku pakai jilbab, walau aku merasa panas namun demi ibu aku pakai juga. Ibu suka jika aku di rumah dan bikin PR, padahal aku bosan di rumah dan PR-nya susah, namun demi ibu aku lakukan hal itu. Ibu suka aku bantu adik dan tidak marah-marah pada adik, walaupun sangat susah mengekang amarah, karena adik sangat menjengkelkan dan kayaknya aji mumpung, mumpung aku lagi dimarahin ibu, maka adik terlihat semakin menyebalkan dan melunjak..hffhhh….Ibu suka aku mencuci piring sendiri dan tidak teriak-teriak memanggil Mbok. Akh untuk yang satu ini aku malas, biar deh ibu marah terus, kalau semua aku kerjakan maka aku kecapekan dan kalau semua aku kerjakan, lalu si mbok ngerjain apa dong..?

Lambat laun setelah aku mengerjakan semua yang ibu sukai dan semua kulakukan dalam diam, tahu-tahu waktu waktu sholat ashar tiba. Oh yaa, satu lagi yang ibu suka, ibu suka aku sholat tepat waktu, maka segera saja aku berlari dan ambil air wudhu lalu sholat. Setelah shalat aku berdoa, “Yaa Allah, semoga ibu tidak marah lagi, maafkan aku yaa Allah..amiin…” (Nabila, Kelas 2 SMP, dikutip dari www.republika.co.id)

Bayangkan itu tulisan anak Anda, disebuah buku harian, yang Anda temukan secara tidak sengaja. Bagaimana perasaan Anda? Hehe, sudah jangan nangis.

Kesibukan kita dalam menjalani rutinitas kehidupan ini, seringkali menjadikan kita kehilangan kedamaian dalam diri. Kedamaian yang ada, berganti dengan kepanikan, keresahan, kekhawatiran, kesumpekan, stress, dan sejenisnya. Disaat seperti inilah,  kita akan mudah untuk tersulut emosi, karena yang berfungsi secara dominan adalah otak reptil kita.

Dimana salah satu ciri otak reptil adalah kalau takut akan lari dan mendendam, kalau berani akan menyerang. Maka sejengkel apapun kita, kalau ketemu orang yang lebih ‘high level’ dari kita, biasanya kita lebih bisa menahan amarah. Tapi kalau kita lagi jengkel dan ketemu dengan orang yang ‘low level’, maka kita pasti menyerangnya dengan kata-kata, sikap dan perbuatan yang emosional.

Nah, karena kita memandang anak-anak kita adalah ‘low level’, maka kalau kita lagi jengkel, keluar deh semua serangan kita, bertubi-tubi kadang, sampai kita merasa puasssss…! Bahkan kadang bukan hanya lisan yang menyerang dengan amarah, kadang tangan dan kaki kita pun ikut berperan melampiaskannya.

Masih segar diingatan kita, Angeline usia 8 tahun, dibunuh oleh ibu angkatnya, Margaretha Magawe, setelah dimarahi dan disiksa berbulan-bulan lamanya (Bali, 2015). Arie Hanggara usia 8 tahun, anak pasangan Mactino dan Santi ini juga tewas mengenaskan setelah dimarahi dan disiksa oleh kedua orangtuanya. Bahkan begitu mengenaskannya cerita kematian bocah yang tinggal di daerah Cikini, Jakarta Pusat itu, sempat difilmkan dan ditayangkan beberapa waktu lamanya di sejumlah media (1984).

Dan masih banyak lagi cerita miris yang dialami anak-anak, hanya gara-gara ortunya tidk bisa menahan amarah. Fakta menunjukkan, merujuk ke data Komisi Nasional Perlindungan Anak, sejak 2010-2014, tercatat bahwa telah terjadi sedikitnya 21,68 juta kasus kekerasan terhadap anak. Angka itu pun diyakini tak menyeluruh, karena tak semua kasus dilaporkan ke polisi. (Baca: Komnas PA: Ada 21,6 Juta Kasus Kekerasan Anak sejak 2010).

Nah kenapa orang tua mudah marah sama anak?

1. Salah paham tentang positioning (status) anak

Selama ini orang tua menganggap anak adalah hak. Padahal sebenarnya anak kita itu bukan hak kita, tapi anak adalah amanah dari Allah swt untuk kita jaga dan rawat lahir bathinnya. Sehingga suatu saat bisa berguna buat agama, bangsa dan negaranya.

Karena anak sebagai amanah, maka kita para orang tua adalah sebagai pemimpin yang pasti akan dimintai tanggung jawab atas kepemimpinan kita pada anak-anak kita. “Kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyyatihi.” (HR. Bukhari). Artinya: Setiap kamu sekalian adalah pengembala (pemimpin) dan setiap pengembala (pemimpin) akan ditanya tentang apa yang digembalanya/dipimpinnya. 

Dengan pemahaman ini, kita akan semakin hati-hati dalam mendidik anak-anak kita. Ketika kita mau berbuat yang tidak baik, seperti marah, memukul dan sejenisnya, kita akan berfikir berkali-kali karena kita akan dimintai tanggung jawab oleh Allah atas semua itu.

Memangnya dalam Islam apa tidak boleh marah dan memukul pada anak-anak?

Mari kita simak kisah-kisah berikut ini:

Ummu Kholid binti Kho’id bin Sa’ad Al-Amawiyah berkata, “Aku beserta ayahku menghadap Rasululloh dan aku memakai baju kurung (gamis) berwarna kuning. Ketika aku bermain-main dengan cincin Nabi Muhammad SAW, ayahku membentakku, maka beliau (Rasulullah saw) berkata, “biarkanlah dia.” Kemudian beliau pun berkata kepadaku, “bermainlah sepuas hatimu, Nak!”

Seorang anak kecil dibawa kepada Nabi Muhammad SAW. Supaya dido’akan, dimohonkan berkah dan di beri nama. Anak tersebut di pangku oleh beliau. Tiba-tiba anak itu kencing, lalu orang-orang yang melihatnya berteriak. Beliau berkata, “jangan di putuskan anak yang sedang kencing, biarkanlah dia sampai selesai dahulu kencingnya.”

Beliau pun berdoa dan memberi nama, kemudian membisiki orang tuanya supaya jangan mempunyai perasaan bahwa beliau tidak senang terkena air kencing anaknya. Ketika mereka telah pergi, beliau mencuci sendiri pakaian yang terkena kencing tadi.

Para orang tua hendaknya tidak terburu-buru untuk menggunakan metode hukuman dengan pukulan, kecuali setelah menggunakan semua metode lembut lain yang mendidik dan membuat jera.

Para orang tua hendaknya tidak memukul anak ketika ia dalam keadaan sangat marah, karena hal ini dikhawatirkan menimbulkan bahaya terhadap sang anak. Perlakuan ini merupakan realisasi wasiat Rasulullah saw. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Berilah aku wasiat”. Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau jangan marah!” (HR Al-Bukhari).

Ketika para orang tua memberikan hukuman pukulan pada anak dengan memukul, hendaknya menghindari anggota badan yang peka, seperti kepala, muka, dada dan perut. Hal ini berdasarkan perintah Nabi Muhammad Rasulullah saw riwayat Abu Daud:

وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ

“. . . dan janganlah kamu memukul muka (wajah)…”

Dan yang menguatkan ini, bahwa ketika Rasulullah saw memerintahkan untuk merajam perempuan Al-Ghamidiah, beliau mengambil batu dan melemparnya, kemudian beliau berkata kepada khalayak:

اُرْمُوْهَا وَاتَّقُوْا الْوَجْهَ

   “Lemparilah dan hindarilah muka …”

Apabila Rasulullah saw melarang kita memukul wajah (melempar wajah) dalam hukum rajam yang dimaksudkan untuk hukuman pembunuhan, maka memukul wajah untuk hukuman yang tidak membinasakan (jiwa) seperti ta’zir dan pendidikan tentunya lebih terlarang. Sebab, wajah atau kepala termasuk anggota badan yang sangat peka dan pusat indera. Jika terkena pukulan akan mengakibatkan kerusakan sebagian indera, dan ini dianggap sebagai penyiksaan.

Seperti halnya memukul bagian dada atau bagian perut, juga dilarang, karena mengakibatkan bahaya besar yang terkadang bisa mengakibatkan kematian bagi seseorang. Larangan ini termasuk universalitas dari sabda Rasulullah saw:

لاَضَزَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh membahayakan (orang lain).” (H.R. Imam Malik dan Ibnu Majah).

Pukulan pertama untuk memberikan hukuman, hendaknya dan sebaiknya tidak terlalu keras dan tidak menyakiti anak, pada kedua tangan atau kaki dengan tongkat yang tidak besar. Hendaknya dan diharapkan pula, memukul dengan pukulan berkisar antara satu hingga tiga kali pada anak yang usianya dibawah umur. Dan jika pada orang dewasa, setelah tiga pukulan tidak membuatnya jera, maka boleh ditambah hingga sepuluh kali, sebagaimana sabda Nabi Rasulullah saw.:

لاَ يَجْلِد أَحَدٌ فَوْقَ عَشْرَةِ أَسْوَاطٍ إِلاَّ فِى حَدٍّ مِنْ حُدُوْدِ اللَّهِ تَعَالَى ٠

“Janganlah seseorang mendera lebih dari sepuluh kali deraan, kecuali dalam hukuman (hudud) yang ditentukan Allah Ta’ala.”

Hendaknya tidak memukul anak, sebelum ia berusia sepuluh tahun, berdasarkan perintah dari Rasulullah saw sebagai berikut :

مُرُوْا أَوْلاَدََكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ ٬ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ

“Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat, ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika melalaikannya, ketika mereka berusia sepuluh tahun. … “

Jika kesalahan anak adalah untuk yang pertama kalinya, maka hendaknya sang anak diberi kesempatan untuk bertaubat dari perbuatan yang telah dilakukan, memberi mereka kesempatan untuk minta maaf, dan diberi kelapangan untuk didekati seorang penengah, tanpa memberikan hukuman, tetapi mengambil janji untuk tidak mengulangi kesalahannya itu. Upaya ini tampak lebih utama dibanding menggunakan pukulan atau mengecamnya di hadapan umum.

Para orang tua hendaknya memberi hukuman dengan memukul anak dengan tangannya sendiri, dan tidak menyerahkannya kepada saudara-saudaranya, atau teman-temannya. Sehingga, tidak timbul api kebencian dan kedengkian di antara mereka.

2. Belum pernah melakukan terapi terhadap emosi atau amarah yang terlanjur menjadi anchor (jangkar) di dalam dirinya atau yang sudah terlanjur masuk di alam bawah sadarnya. Nah pembahasan untuk poin 2 ini kita sambung lain kali ya……
*Buat sahabat-sahabat yang mau KONSULTASI, SHARING-SHARING, TRAINING, TERAPI, COACHING dll seputar PARENTING silakan menghubungi: 081 334 664 867 atau klik www.tips-indonesia.com

One thought on “Jangan Marah -Wahai Ayah Bunda-, Bagimu Syurga…!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *